
Pada zaman itu (kuno), pekerjaan menyalin sepertit itu dilakukan oleh penulis professional yang tentu saja diberi upah. Pada kemudian hari (abad pertengahan), pekerjaan tersebut dilakukan oleh para biarawan. Menyalin, ketika itu, bukanlah pekerjaan yang mudah, mengingat fasilitas penunjang, seperti alat penerangan, meja dan kursi kerja, juga sangat terbatas. Dalam situasi yang sangat tidak menunjang seperti itu, sekalipun barangkali sudah berjuang secara maksimal supaya tidak melakukan kesalahan dalam proses penyalinan, tetap saja yang namanya kekeliruan itu bisa terjadi, sengaja atau tidak. Kekeliruan sengaja terjadi ketika misalnya ketika penyalin bertemu dengan kata atau huruf yang tidak jelas lalu ia harus mengambil keputusan sendiri kira-kira apa sebetulnya kata atau huruf itu. Kekeliruan tidak sengaja terjadi, minsalnya, ketika penyalin secara tidak sadar melewatkan satu huruf, kata, atau bahkan satu frasa. Naskah-naskah salinan yang demikian terbawa terus dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Jika mengingat situasi ini, maka tidak mengherankan jika ditemukan ketidaksamaan antara salinan yang satu dengan salinan yang lainnya untuk satu bagian Alkitab yang sama.
Menurut catatan, untuk naskah-naskah (salinan kitab-kitab) Perjanjian Baru saja, didapati sekitar 250.000 kasus. Dalam bahasa teknisnya, perbedaan seperti ini disebut ‘variants’. Nah, dalam studi naskah kitab suci, dari variants ini diupayakan untuk mencaritahu kira-kira dalam teks aslinya varian mana yang memang ditemukan.
Karena itu, bila dalam teks-teks terjemahan modern ini ditemukan ketidaksamaan kata atau frasa, sebab terjadinya haruslah dipahami dari segi historis penyalinan ini. Orang yang tahu sejarah pewarisan teks Kitab Suci seperti ini tidak akan mempersoalkan kenyataan bahwa ada ketidaksamaan dalam versi-versi Alkitab modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar